Kamis, 19 Desember 2013

KAJIAN MODEL DESA TANGGUH BENCANA DALAM KESIAPSIAGAAN PENANGGULANGAN BENCANA BERSAMA BPBD D.I YOGYAKARTA.



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Setiap orang  berhak mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman  khususnya bagi kelompok masyarakat rentan bencana dan setiap masyarakat berkewajiban menjaga kehidupan sosial masyarakat yang harmonis, memelihara keseimbangan, keserasian, keselarasan dan kelestarian fungsi  lingkungan hidup.   Itulah amanat dalam undang undang no.24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana secara tersurat dan tersirat,  bentuk kewajiban dan  tanggung jawab pemerintah maupun masyarakat untuk saling bersinerji dalam kesiapsiagaan.
Dengan paradigma penanggulangan bencana  menuju paradigma  mitigasi, preventif sekaligus juga paradigma pembangunan maka pemberdayaan masyarakat  harus ditingkatkan untuk lebih    mengetahui    tentang    kebencanaan   serta karakteristik wilayah masing masing dari ancaman bencana.
Secara umum wilayah Indonesia adalah tempat pertemuan  tumbukan  3  (tiga)    lempeng   tektonik yaitu lempeng Hindia Australia yang bergerak ke arah utara dan menunjam ke bawah karena bertumbukan dengan lempeng Euroasia. di bawah laut sebelah barat Sumatera terus sampai di selatan Pulau Jawa hingga NusaTenggara Timur dan membelok ke utara. Kemudian dari arah timur lempeng Pasifik bergerak ke arah barat menunjam ke bawah lempeng Euroasia di Daerah Laut Banda – Halmahera (“teori plate tectonic”). Daerah jalur penunjaman lempeng tektonik disebut dengan “subduction zone” yang merupakan juga “jalur gempa” dan di utara jalur gempa adalah “inner zone” tempat “ jalur sabuk gunung api.”  Dampak dari akibat tumbukan lempeng tektonik tersebut  banyak terjadi bencana kebumian seperti erupsi gunung api, tanah longsor, gempa bumi , tsunami sehingga Indonesia disebut juga sebagai “super market bencana”. Dari kondisi alam Indonesia yang memang sudah terbentuk akibat  proses geologi itu beserta dampak kebencanaannya, maka kita harus sadar bahwa kita hidup dalam wilayah rawan bencana. Untuk itu  kita perlu menanamkan pemahaman dan pembelajaran melalui pendidikan formal maupun non formal, sosialisasi ke masyarakat umum untuk menambah khasanah  pengetahuan di bidang  bencana alam sehingga diharapkan mereka dapat berkontribusi secara proaktif.
1.2  Rumusan Masalah
Dari Latar belakang diatas dapat dirumuskan suatu masalahnya sebagai berikut:
1.      Bagaimana cara mendapatkan keserasian dan keselarasan program kinerja berkelanjutan  dalam upaya mitigasi kebencanaan alam  guna  mendukung integritas masyarakat yang mandiri dalam  kesiapsiagaan terhadap ancaman bencana yang mungkin terjadi?
1.3  Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui cara mendapatkan keserasian dan keselarasan program kinerja berkelanjutan  dalam upaya mitigasi kebencanaan alam  guna  mendukung integritas masyarakat yang mandiri dalam  kesiapsiagaan terhadap ancaman bencana yang mungkin terjadi.














BAB II
PEMBAHASAN
Bencana alam dapat terjadi secara tiba- tiba tanpa kita ketahui datangnya, kapan dan dimana. Peristiwa kejadian bencana selalu membawa  dampak kejutan dan merugikan baik harta benda maupun jiwa. Resiko bencana yang timbul  mungkin saja terjadi  karena kurangnya kesiapsiagaan maupun kewaspadaan masyarakat dalam menghadapi bencana. Dengan mengenal kondisi dan potensi wilayah maka diharapkan akan lebih waspada peduli lingkungannya.
2.1  Fenomena  Alam   D.I. Yogyakarta.
Bentang alam yang dijumpai di wilayah Provinsi D.I Yogyakarta dimulai di bagian utara  ada  G. Merapi yang aktif, di bagian barat dijumpai perbukitan Menoreh dan Kubah  Kulon Progo dengan sungai yang besar ialah Kali Progo yang mengalir ke selatan bermuara di  Samudera Indonesia. Di sebelah timur dijumpai perbukitan Boko dengan sungai. Kali Opak juga mengalir ke selatan bermuara di Samudera Indonesia. Di wilayah tengah dijumpai Kali Code yang mengalir di tengah Kota Yogyakarta dan Kali Kuning di sebelah timur Kota Yogyakarta. Dengan fenomena alam yang ada di wilayah Yogyakarta maka potensi kebencanaan alam yang ada ialah erupsi G. Merapi dengan bahaya  primer (lava pijar, awan panas dan hujan abu vulkanik). dan banjir lahar hujan  sebagai bahaya sekunder. Untuk peningkatan kewaspadaan akan potensi bencana tanah longsor kita harus mengenal daerah daerah dengan fenomena alam yang dijumpai seperti  perbukitan dengan  kemiringan lereng yang terjal mempunyai batuan penyusun lereng bersifat lempungan,  struktur geologi daerah hancuran (fracture zone), pelapukan tanah tebal.  Keadaan lingkungan alam ini memang merupakan faktor dalam  (intern)   dari alam itu sendiri  dan jika ditambah pengaruh oleh faktor luar (ekstern)  seperti curah hujan yang tinggi serta ulah manusia yang mengubah fungsi lahan untuk keperluannya tanpa terkontrol dapat menimbulkan ketidakseimbangan  sehingga terjadilah ketidakstabilan lereng  dan ujung akhirnya  adalah terjadi bencana tanah longsor.
2.2  Ancaman Kebencanaan di Wilayah Yogyakarta.
1. Erupsi  gunung api atau letusan gunung api.
Erupsi atau letusan gunungapi terjadi karena adanya proses magma yang naik melalui daerah corong magma  sampai ke permukaan bumi yang disebut dengan kawah (crater). Bahaya erupsi  gunungapi ada dua macam yaitu bahaya primer dan sekunder. Bahaya primer ialah bahaya yang sifatnya langsung saat letusan terjadi (seperti hujan abu, aliran lava, lontaran batu berbagai ukuran dan awan panas). Sedangkan bahaya sekunder yaitu bahaya yang sifatnya tidak langsung dirasakan tetapi dapat terjadi pasca erupsi adalah  banjir lahar hujan.
Gambar 1. Peta Indeks Rawan Bencana,  Provinsi  D.I.   Yogyakarta.  (Sumber dari :  Indeks Rawan Bencana  2011, BNPB, halaman 87)
Banjir lahar hujan terjadi dari  adanya sumber material piroklastik  hasil  letusan gunungapi, bila bercampur dengan air hujan yang turun di puncak gunung lalu mengalir turun menggelontor menuju sungai-sungai yang berhulu dari puncak gunung  tersebut.  Aliran lahar hujan  ini mempunyai kecepatan yang tinggi dengan daya rusak yang  sangat besar. Parameter yang dapat memicu terjadinya banjir lahar hujan ialah kemiringan dasar sungai yang terjal, material lepas yang belum terkonsolidasi. Contoh   banjir lahar hujan yang terjadi di Kali Gendol dan K. Boyong di wilayah Kabupaten Sleman dan K. Putih di wilayah Kabupaten Magelang ( November 2011).
2.      Tanah  longsor
Tanah longsor terjadi pada daerah perbukitan dengan kemiringan lereng yang terjal. perlapisan batuan yang miring sejajar dengan kemiringan lereng, tanah pelapukannya tebal mudah terombak, ada struktur patahan yang merupakan zona hancuran dan  ulah manusia sendiri, Penyebabnya  karena kondisi alam itu sendiri atau juga pengaruh dari luar karena ulah manusia. Faktor alam karena  karakteristik geologis  misalnya jenis tanahnya lempungan, perlapisan  batuan yang mengikuti aturan, alih fungsi lahan yang berlebihan. Faktor pemicu lain adalah hujan dengan intensitas yang tinggi.  Contoh tanah longsor di  Kab. Kulonprogo di Samigaluh, desa Semagung, Kedungrong, (2001), tanah longsor di Desa Mudon, Kec. Gedangsari Kabupaten Gunung Kidul.
3.      Gempa bumi
Gempa bumi terjadi karena adanya pelepasan akumulasi energi yang kuat akibat tumbukan dari pergerakan lempeng tektonik sehingga dapat dirasakan manusia di  permukaan bumi dengan magnitude dalam Skala Richter (SR) atau Mercalli Cancani  (MM)., Gempa bumi dengan kekuatan magnitude  > 6 SR, dapat menimbulkan   lapisan tanah menjadi retak dan “liquifaction” sehingga kekuatan daya dukung tanah menjadi lemah dan akibatnya  bangunan yang berdiri diatasnya dapat menjadi runtuh dan ambruk. Contoh gempa bumi yang terjadi di  Yogyakarta 27 Mei 2006 ( 5,9 R) pusat gempa pada patahan Opak.
4.      Angin Puting Beliung.
Adalah pusaran angin kencang dengan kecepatan  lebih dari  120 km dan terjadi di wilayah tropis  disebabkan adanya perbedaan tekanan dalam suatu sistem cuaca Di Indonesia dikenal dengan sebutan angin badai  yang bertiup berpusar sampai radius pusaran puluhan kilometer dengan kecepatan lebih dari 20 – 60 km/jam.
Tabel  1. Indek Rawan Bencana Indonesia Provinsi D.I.  Yogyakarta.


1.      Tsunami
Tsunami / gelombang pasang terjadi karena adanya gempa tektonik dengan sumber gempa berada di bawah laut dan mempunyai magnitude > 6,5 Skala Richter sehingga menimbulkan gelombang pasang yang  menerjang masuk daratan dan dapat mencapai ratusan meter hingga beberapa kilometer  dengan “amplitude” atau “tinggi gelombang” yang besar (dapat mencapai puluhan meter.  Tsunami di wilayah pesisir selatan Yogyakarta patut di waspadai terutama  daerah  wisata pantai selatan seperti Parangtritis, Desa Gading Sari Sanden  Bantul,  pantai Glagah wilayah Kulon Progo dan Gadingharjo, Pantai Baron, di wilayah Kab. Gunung Kidul.
2.3 Kebencanaan Yang Ditinjau
1. Tanah longsor di wilayah Kabupaten  Kulon Progo.
Secara geografis daerah longsoran di Kulon Progo  terletak di Perbukitan Menoreh pada ketinggian 862 meter dpl. Perbukitan ini mempunyai kemiringan lereng yang curam lebih dari 45°  dengan vegetasi yang cukup lebat. Susunan batuan di daerah ini terbentuk dari batuan dasar breksi andesit tua dengan tanah pelapukan yang tebal dari endapan gunungapi hasil letusan Merapi tua. Daerah yang berpotensi longsor menempati wilayah Kecamatan Samigaluh, Kecamatan Kokap, Kecamatan Girimulyo dan Kecamatan Kalibawang.  Pada longsoran di Desa Sidoharjo, Kecamatan Samigaluh dipilih sebagai tempat  model Desa Tangguh dalam kesiapsiagaan penanggulangan bencana tanah longsor
1.   Tanah longsor di Wilayah Kabupaten Gunung Kidul.
Secara geografis daerah Gunung Kidul  terletak di Perbukitan Gunung Sewu  pada ketinggian 200 - 600 meter  dpl.  Perbukitan ini mempunyai kemiringan lereng yang curam


lebih dari 45°  dengan vegetasi yang kurang  lebat.  Susunan batuan di daerah ini terbentuk dari batuan gamping. Formasi Wonosari, batuan napal dan batupasir  dasar  breksi  andesit tua yang sudah lapuk dengan tanah pelapukan yang tidak begitu  tebal. Daerah yang berpotensi longsor menempati wilayah Kecamatan Gedangsari,  Kecamatan Patuk,  Kecamatan Semin, Kecamatan Ponjong. Untuk daerah rawan longsor di wilayah Kabupaten Gunung Kidul yang dijadikan model Desa Tangguh  adalah Desa Nglegi, Desa Terbah dan  Desa Semoyo Kecamatan Patuk.



1.      Gempabumi Bantul, Yogya Mei 2006
Gempabumi adalah peristiwa alam yang dipengaruhi oleh proses  tektonik maupun vulkanik. Gempabumi Yogya pada 26 Mei 2006 adalah akibat goncangan  gempa tektonik dengan kekuatan 5,8 – 6,2 pada SR. Pusat Gempa diperkirakan di pinggir pantai selatan Kabupaten Bantul dengan kedalaman 17 km Gempa ini ternyata disebabkan adanya gerakan sesar aktif di Yogyakarta  yang kemudian disebut Sesar Kali Opak. Episentrum diperkirakan terjadi di muara S. Opak- Oyo,   Gempa terasa di seluruh wilayah Yogyakarta, Klaten dan kerusakan terutama terjadi di wilayah Bantul   ( Wonolelo, Pleret) dan Kecamatan Patuk di wilayah Gunung Kidul.
2.      Erupsi  G. Merapi November 2010 dan banjir lahar   hujan.
Bahaya erupsi  gunungapi ada dua macam yaitu bahaya primer dan sekunder. Bahaya primer ialah bahaya yang sifatnya langsung saat letusan terjadi (seperti hujan abu, aliran lava, ontaran batu berbagai ukuran dan awan panas). Contoh erupsi G. Merapi Nopember 2010).   Banjir lahar hujan terjadi dari  adanya gunungapi, bila bercampur dengan air hujan yang turun di puncak gunung lalu  mengalir turun menggelontor menuju sungai-sungai yang berhulu dari puncak gunung tersebut.   Contoh  banjir lahar hujan yang terjadi di Kali Gendol  dan  K. Boyong di wilayah Kabupaten Sleman  dan K. Putih  di Kab. Muntilan dari material hasil  letusan  (Januari 2011).
2.4 Kegiatan yang dilaksanakan.
Sudah banyak kegiatan dan program yang dilaksanakan oleh BPBD Provinsi D.I  Yogyakarta baik berupa pelatihan kesiapsiagaan  dan peningkatan kewaspadaan, rehabilitasi dan rekonstruksi akibat bencana gempa bumi di wilayah Bantul, Piyungan maupun di wilayah  G. Merapi diaerah Cangkringan dan Pakem.
2.4.1 Pembentukan dan Pengembangan   Desa Tangguh
Desa/ Kelurahan Tangguh adalah Desa yang memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi dalam menghadapi ancaman bencana serta memulihkan diri  dengan segera dari dampak  bencana yang  merugikan jika terkena bencana. Jadi  program Desa Tangguh adalah program pendampingan masyarakat  tingkat desa untuk mengurangi potensi dampak bencana, dengan membangun dan memperkuat pengetahuan, partisipasi dan regulasi masyarakat dan pemerintah desa untuk pengurangan resiko bencana. Melalui program Desa Tangguh dikembangkan partisipasi masyarakat yang mandiri memiliki  kemampuan untuk mengenali ancaman di

wilayahnya  dan mampu mengorganisir sumber daya masyarakat untuk mengurangi kerentanan dan sekaligus meningkatkan kapasitas demi mengurangi resiko bencana.
Belajar dari pengalaman bencana gempa bumi Yogya 26 Mei 2006 yang telah dilakukan di Desa Wonolelo, Kec. Pleret dan Desa Mulyodadi, Kec. Bambanglipuro,  Kab. Bantul Yogyakarta maka setelah keberadaan organisasi BPBD Provinsi D.I Yogyakarta, telah menyusun program kegiatannya.  melalui    pembentukan dan pengembangan  Desa Tangguh  sejak tahun 2011. Dasar pemilihan model Desa Tangguh adalah desa yang terbesar dan terbanyak mendapat ancaman bencana, kerentanan tinggi, kapasitas rendah.    Dari hasil survei di wilayah Kulon Progo ada  21 desa yang berpotensi rawan bencana dan akhirnya dipilih  2 (dua) desa yakni Desa Glagah, Kecamatan Temon dan Desa Sidoharjo, Kec. Samigaluh. Dari hasil survei di wilayah Kabupaten Gunung Kidul  ada 22 desa yang berpotensi rawan bencana dan akhirnya dipilih  3 (tiga)  desa yakni Desa Nglegi, Desa Terbah dan Desa Semoyo, Kecamatan Patuk   (lihat Tabel 2). Pada dasarnya kegiatan program Desa  Tangguh membutuhkan suatu proses ruang  dan waktu untuk selalu siaga dan tangguh. Tahapan proses ini akan  menentukan program yang dipilih untuk dilakukan, melalui  proses  pemberdayaan: (1) Pengorganisasian  (2) Identifikasi  Potensi dan Resiko Bencana, (3) Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana (4) Edukasi Masyarakat, (5) Pemberdayaan Ekonomi dan Kelembagaan  dan legalisasi Desa Tangguh dan sistem regulasi masyarakat dan pemerintah desa untuk pengurangan resiko.
2.4.1 Pemberdayaan Masyarakat Mandiri
Memberdayakan masyarakat dengan  Forum Pengurangan Resiko Bencana (FPRB)  yang dimaksud untuk bertugas mengakomodasi inisiatif-inisiatif pengurangan resiko  bencana dari kemungkinan yang terjadi  forum ini dibentuk  atas dasar partisipasi kesadaran dan kemampuan masyarakat desa  setempat. Untuk mendukung kelancaran tugas maka dibentuk satuan tugas (SATGAS) penanggulangan bencana tingkat desa setempat berdasarkan musyawarah dan mufakat warga.  Pembentukan satuan tugas, pembuatan prosedur tetap (PROTAP) dan SOP melalui musyawarah desa dalam forum yang dibentuk sesuai kebutuhan masyarakat  setempat Focus Group Discussion (FGD)  dan ditetapkan oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD)  dan    pemgembangan  Forum Pengurangan Resiko Bencana  (FPRB) yang sudah dibentuk di : 1) Desa Tangguh di Desa Sidoharjo, Kec. Samigaluh Kab.  Kulon Progo 2) Desa Glagah Kec. Temon Kab.  Kulon Progo; 3) Desa Nglegi, Kec. Patuk Kab.  Gunung Kidul; 4) Desa Terbah, Kec. Patuk Kab.  Gunung Kidul 5) Desa Semoyo, Kec. Patuk Kab.  Gunung Kidul.
2.5 Rencana  aksi  kedepan
Dengan sudah adanya regulasi hukum seperti UU PB No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana   juga   telah   ditetapkan sejak tanggal 26 April 2007. Amanat dalam pasal  18 UU PB No. 24 Tahun 2007 telah ditindaklanjuti dengan Perda No. 10  Tahun 2010 tanggal 13 Nopember 2010,  UU PB No 23 Tahun 2008  tentang Penyelenggaraan dibentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi D.I Yogyakarta, Perka BNPB No.2 tahun 2012 tentang Pengkajian Resiko Bencana;  Perka BNPB No. 15 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengkajian Pasca Bencana.
 


Dengan payung hukum tersebut maka dapat dilakukan berbagai upaya ke depan untuk  sosialisasi penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerahnya masing masing. Kesadaran dan kepedulian akan lingkungan, menengarai (titen)  tanda tanda alam, identifikasi potensi  bencana di wilayahnya  dan juga perilaku manusia itu sendiri sebagai upaya kedepan untuk mitigasi bencana (lihat tabel 3). Upaya itu dapat  dilakukan dengan  :
1.      Sosialisasi dan  pelatihan  kesiapsiagaan penanggulangan bencana kepada aparat, masyarakat dan relawan komunitas peduli bencana secara berkala dan berkelanjutan  perlu diingatkan;
2.      Membentuk program Desa Tanggu
Bencana sesuai perencanaan  tata ruang wilayah masing masing disertai analisa resiko bencana, (pasal 35, huruf e, f  UU PB no 24 tahun 2007); 
3.      Membuat peta rawan bencana, jalur  evakuasi dan rambu rambu jalur  evakuasi sesuai kondisi kebencanaan yang ada;
4.      Pemasangan alat peringatan dini bahaya tanah longsor, tsunami, gempa, kebakaran dan lainnya
5.      Mengadakan simulasi evakuasi pengungsi akibat bencana alam (gempabumi, tanah longsor, tsunami, erupsi gunungapi dan banjir lahar hujan).









BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
1. Pelatihan kesiapsiagaan dan kewaspadaan penanggulangan bencana kepada masyarakat setempat membuat warga lebih peduli akan wilayahnya.
2. Pembentukan Desa Tangguh menjadikan warga lebih percaya diri dan mandiri.
3. Adanya  Forum Pengurangan Resiko Bencana (FPRB)  oleh masyarakat, menimbah khasanah kebencanaan, sehingga mereka jadi  lebih siap dan waspada.
4. Peran warga bersama pamong desa lebih menyatu dalam pembuatan Protap/ SOP Kebencanaan dan lainnya.
5. Untuk  menuju  Desa Tangguh  siaga selalu dan aman seterusnya perlu proses ruang dan waktu.
3.2 Saran
1. Selayaknya peran masyarakat Desa Tangguh dikembangkan dengan program pemasangan alat peringatan dini yang sesuai kebutuhan wilayah.
2. Pengembangan Desa Tangguh harus dilakukan pendampingan  yang berkelanjutan  bersama BPBD Provinsi atau Kabupaten/ Kota secara berkelanjutan.
3. Seyogyanya diagendakan program simulasi evakuasi yang sesuai kondisi kebencanaan wilayahnya




DAFTAR PUSTAKA
Hardiyatmo Hary Christady, Juli 2006, Penanganan Tanah Longsor dan Erosi, Gadjah Mada Uneversity Press Yogyakarta
Hariyadi Djamal dkk, Des 2006, Laporan Akhir Uji Coba Perangkat Lunak ( Uji Penerapan Sistem Peringatan Dini Bahaya Longsor di Kedu Selatan dan    Banyumas), Desember 2006, Balai Sabo Puslitbang  SDA, Dep.  PU
Hariyadi Djamal, Jun 2012, Peduli Benicana Lewat Pena, Penerbit Pohon Cahaya   Yogyakarta. Hariyadi Djamal, Juni 2012, Gerakan Tanah Dan Pedoman Cara Pemantauan, Penerbit LeutikaPrio, Yogyakarta.
Karnawati D, 2005, Bencana Alam Gerakan Masa Tanah di Indonesia dan Upaya Penanggulangannya,  Jurusan Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada, ISBN 979 – 95811-3-3. (Tidak Publikasi)
Wawan Andriyanto dkk, 2011,  Siaga Selalu Aman Seterusnya, Sebuah Pembelajaran  Menuju Desa Tangguh,, YP2SU, Yogyakarta.
2007, UU no. 24/Tahun 2007 tentang   Penanggulangan Bencana.
2009,  Data Bencana Indonesia Tahun 2009, BNPB Jakarta. 2011, Indeks Rawan Bencana,  BNPB, Jakarta


SEMOGA BERMANFAAT...
JANGAN ASAL COPAS.... MOHON BERI KOMENTAR


Tidak ada komentar:

Posting Komentar